Hukum halal atau tidaknya menjual pupuk kandang serta pemanfaatannya untuk tanaman dan ternak tergantung kepada hukum kotoran hewan ternak, apakah najis atau tidak?
Para ulama sepakat bahwa kotoran hewan yang dagingnya tidak halal dimakan adalah najis, seperti; babi, kotoran anjing, binatang buas dan lainnya. Adapun kotoran hewan yang dagingnya halal dimakan, seperti; kotoran ayam sapi dan hewan ternak lainnya, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha tentang hukumnya.
Pupuk kandang menurut pandangan islam (mazhab ulama’ Maliki dan Hanbali) bahwa kotoran hewan ternak tidaklah najis. Di antara dalil pendapat ini: Sekelompok orang dari bani Uraynah menyatakan keislamannya, lalu datang ke kota Madinah menemui Nabi, sesampainya di Madinah mereka terserang penyakit, maka Nabi memerintahkan mereka minum air kencing unta dan air susunya. (HR. Bukhari).
Dari perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar minum air kencing unta dapat dipahami bahwa kotoran hewan ternak tidaklah najis, karena seandainya itu najis tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memerintahkan mereka agar meminumnya, sekalipun dalam rangka pengobatan, karena ada larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar jangan berobat menggunakan benda yang diharamkan, sebagaimana diriwayatkan oleh Baihaqy dan dishahihkan oleh Suyuthi.
Juga diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat di dalam kandang kambing, dan ketika beliau ditanya tentang shalat di kandang kambing, beliau membenarkannya.
sapi dan hewan ternak lainnya, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha tentang hukumnya.Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa kotoran hewan ternak tidaklah najis, karena seandainya itu najis tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan shalat di tempat najis (kandang kambing) dan akan melarang shalat di kandang kambing. Dengan demikian berarti boleh menjual-belikan pupuk kandang dan keuntungan hasil penjualannya halal, begitu juga boleh membuat kandang ayam di atas kolam ikan, dan bila ikannya dipanen lalu dijual tidak perlu dikarantina terlebih dahulu, karena ikan tersebut bukanlah jallalah, karena ikan itu tidak memakan najis.
Wallahu’alam.
Referensi:
DR Shaleh Al Musallam, Tathhir Najasat, Cet. I. Pustaka Fadhila, Riyadh
DR. Abdurrahim Hasyim, An Najasat wa ahkamuha, thesis di univ. Al Imam, Riyadh
Fathul Qadir, Ibnul Humam.
Mawahibul Jalil
Al Majmu’ Syarh Al Muhazzab
Ibnu Qudamah, Al Mugni
Bada’i Shana’i
Al Mausuah Fiqhiyyah Kuwaytiyyah
Sunan Nasa’i –